Selamat pagi dan salam sejahtera, setelah kian lama penulis vakum dari dunia perblogeran kali ini penulis ingin mensharing materi yang dikutip dari beberapa blog serta melakukan pengeditan dan penambahan materi yang dianggap perlu oleh penulis. Didasari oleh pengalaman penulis yang telah gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga, penulis ingin membagikan pengalaman tersebut agar para blogger yang telah ataupun akan mengarungi bahtera rumah tangga mendapatkan kenikmatan serta kebahagiaan PERNIKAHAN...........................................Wokeehhh langsung aja .............,,,,
Dewasa ini penulis mengalami dan melihat betapa banyaknya PASUTRI yang bercerai, padahal sebelumnya saat pacaran mereka terlihat begitu mesranya, mengatasnamakan CINTA diatas segalanya dan beberapa dari mereka rela menentang nasihat dari orang tua maupun kerabat terdekatnya serta mengabaikan pendapat orang disekitarnya, hingga rela untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sangat dilarang dan diharamkan oleh SANG PENCIPTA....dan penyebabnya hanya satu yaitu pengaruh dari efek dopamin yang dihasilkan oleh otak kita yang menimbulkan sensasi senang, damai dan tenteram apabila kita bertemu dengannya sehingga segala rasionalitas dan kenyataan yang ada kita abaikan.......
Penulis ingin mengkaji fenomena ini agar para blogger dapat saling memahami pasangan kita sehingga keegoisan, kecurigaan, terutama pertanyaan KENAPA SIH DIA BERUBAH ??? dibuang jauh jauh serta meningkatkan komunikasi yang sehat antara pasangan.
Perbincangan mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan sepertinya tidak
pernah ada habisnya. Laki-laki merasa tidak bisa mengerti kaum perempuan yang
“sulit ditebak” apa maunya. Sedangkan perempuan menganggap laki-laki itu
“membingungkan”. Namun anehnya, ada satu fase dimana laki-laki dan perempuan
tiba-tiba bisa berada di frekuensi yang sama sehingga keduanya merasa sehati
dan sepikir, dan kemudian memutuskan untuk hidup bersama dalam
pernikahan.
Segera setelah keduanya melewati masa-masa indah bulan madu, tiba-tiba saja
keduanya merasa terjebak – karena masing-masing pihak mulai menyadari bahwa
pasangannya ternyata “berubah”.
- Kenapa dia
tiba-tiba cuek yah? Dulu dia orangnya penuh perhatian lho! atau jangan - jangan dia punya simpanan ???
- Kenapa dia
sekarang suka uring-uringan yah, padahal dulu sabaaaar banget.
- Wah, dulu kalau
masa pacaran, kami bisa ngobrol sampai berjam-jam, tapi setelah tahun pertama
pernikahan, kalau ga ada urusan yang sangat penting, kami ga akan ngomong deh.
- Heran juga …
kenapa dulu saya bisa naksir dia yah? Ternyata orangnya nyebelin!
Apakah Anda juga pernah bertanya-tanya seperti contoh di atas? (oya, pertanyaan
ini tidak berlaku bagi yang sedang dalam masa pacaran atau masih
ber-pacaran-ria) ataupun masih bulan maduuu.
Bila YA jawabnya, maka saya ucapkan selamat! Karena itu berarti otak Anda dalam
keadaan normal, sehat, dan baik-baik saja.
OTAK YANG SEDANG JATUH CINTA
Tahukah Anda apa yang menyebabkan pasangan Anda “berubah” setelah menikah?
Sebenarnya, bukan pasangan Anda yang “berubah” setelah menikah, melainkan otak
Anda sendiri lah yang sedang berubah! Saya ulangi lagi … agar tidak ada salah
pengertian. Sebenarnya pasangan Anda TIDAK berubah, dia masih tetap sama
seperti dulu saat Anda dan pasangan Anda melewati masa-masa pacaran yang
romantis. Tetapi otak Anda lah (dan otak pasangan Anda) yang “berubah” yang
membuat Anda dan pasangan Anda sekarang melihat masing-masing dengan kacamata
yang berbeda.
Jadi, sebelum Anda “menyesal” kenapa dulu menikah dengan dia, sebelum Anda
merasa sudah terlanjur “salah pilih”, atau sebelum Anda “menyerah” dengan hidup
pernikahan Anda yang rumit, coba simak dulu penjelasan berikut ini …
Saat sedang jatuh cinta, tidak saja jantung kita berdetak lebih cepat namun
seluruh organ tubuh lainnya seolah ikut menopang segala hasrat kita. Tiba-tiba
saja kita jadi lebih bugar dan bisa begadang sepanjang malam. Kita juga bisa
jadi lebih sabar, lebih perhatian, lebih fokus, dan rela berkorban.
Penelitian menunjukkan bahwa kondisi otak insan yang sedang jatuh cinta BEDA
dengan mereka yang sedang dalam keadaan biasa-biasa saja.
Orang yang sedang jatuh cinta, otaknya teraktivasi untuk menghasilkan dopamine.
Kehadiran dopamine memberi rasa nikmat dan membuat seseorang menjadi lebih
termotivasi. Yang menarik adalah, penelitian menunjukkan bahwa keadaan otak
orang yang sedang jatuh cinta ini mirip dengan keadaan otak orang-orang yang
sedang kecanduan obat-obat terlarang – karena dopamine bersifat “addicted”
(kecanduan). Singkatnya, baik orang yang sedang jatuh cinta maupun yang sedang
nge-drugs sama-sama meningkat kadar dopamine di dalam otaknya.
Bila dopamine meningkat, sebaliknya, kadar serotonin dalam otak orang yang
sedang jatuh cinta malah menurun. Hal ini mengakibatkan kita menjadi lebih
mudah depresi. Bahkan kadang menurunnya kadar serotonin tsb bisa menjadi
serendah para pasien yang mengidap “compulsive disorder”. Karena itu, tidaklah
mengherankan bahwa saat seseorang sedang jatuh cinta dia menjadi lebih mudah
kuatir, lebih sering cemas, lebih banyak gelisah, akan kemungkinan terjadinya
hal-hal buruk yang akan menimpa pasangan mereka atau yang dianggapnya
berpotensi merusak hubungan mereka. Tidak terima telepon 1 hari saja bisa
membuatnya panik. Mendapat laporan dari teman kalau si doi kelihatan sedang
menyeberang bersama lawan jenis, maka berbagai pikiran buruk tiba-tiba
terlintas dalam benaknya. Benar-benar mirip keadaan pasien yang sedang sakit
jiwa bukan?
Dan, keadaan ini masih diperparah lagi dengan MATI atau LUMPUHnya salah satu
bagian penting dalam otak kedua insan yang sedang jatuh cinta tsb, yaitu yang
disebut dengan “the social assessment mediator”. Akibatnya, mereka yang sedang
jatuh cinta TIDAK AKAN MAMPU menilai pasangannya secara objektif. Otak kedua orang
yang sedang jatuh cinta ini sama-sama mencegah / memblokir timbulnya penilaian
(judgement) yang negatif terhadap pasangan mereka. Dengan kata lain, otak
mereka akan berusaha keras MENOLAK setiap input yang bertentangan dengan hasrat
mereka.
Tidak mengherankan kalau nasihat baik dari orang tua,sahabat, pembimbing,
teman, dll kebanyakan mental atau menguap bagaikan embun di siang hari. Karena
otak orang-orang yang sedang jatuh cinta akan berusaha keras “melindungi” diri
mereka sendiri terhadap ancaman yang bakal merenggut rasa nikmat dari jatuh
cinta yang sedang mereka alami tsb. Benar kata orang bahwa mereka yang sedang
jatuh cinta sedang tidak waras pikirannya .
Nah kalau kita tidak jatuh cinta berarti tidak ada yang menikah, asumsinya begitu kan ????
jadi jangan salahsemua chemistry saat jatuh cinta itu alami terjadinya ga akan di tangkap polisi kokk karena efek dopamin tersebut, akan tetapi bagaimana mempertahankan efek tersebut sampai maut menjemput....... Betapa indahnya hidup ini apabila kedua pasangan sama sama memilikinya, kerikil ataupu jurang selama pernikahan bisa dilewati dengan THE POWER OF LOVE seperti dalam film dengan kekuatan cinta masalah sepelik apapun bisa dilewati, akan tetapi apabila tidak adanya rasa cinta ini pada kedua pasangan siap - siap saja neraka pernikahan akan hadir didepan anda dan jalan terakhit bercerai, lha siapa yang rugi ????? Anda apa pasangan anda,,,,,, Anda dan pasangan anda akan depresi serta kehilangan beberapa saat seiring berjalannya waktu akan kembali normal semuanya...... akan tetapi apabila anda mempunyai anak yang masih kecil dan butuh perhatian betapa terguncangnya jiwa anak tersebut karena keegoisan kita,,,, jadi kita tetap harus tetap mempertahankan pernikahan tersebut walau tidak ada cinta ????? sooo jawabannya tidak sesuatu yang dipaksakan biasanya berakibat fatal maupun penderitaan apalagi kita bertemu tiap saat dengan pasangan kita, efek psikologis serta kejiwaan bagi anak pun sangat tidak baik melihat orang tuanya sering bertengkar dan paling buruknya anak akan mengalami dampak dari itu semua karena anak cendrung untuk dijadikan pelampiasan kekesalan orang tuanya karena lemah dan tidak dapat mempertahankan diri maka kebanyakan kasus pembunuhan anak oleh orang tua disebabkan masalah orang tua yang dilampiaskan ke anak, kasihan anak dia pun tidak mau terlahir dan dilahirkan dari anda kalau dia dapat memilih ................................Kembali ke pokok cerita.....
Jadi … setelah berbagai gejolak kimia jatuh cinta tsb dalam otak kita di masa
pacaran, tiba waktunya kita memasuki masa pernikahan. Hari demi hari berlalu,
minggu demi minggu, dan bulan demi bulan. Maka kembalilah otak kita pada
kondisi NORMALnya.
Dopamine mulai berkurang … makanya kita tidak lagi deg-deg’an saat berada di
sebelah pasangan kita bukan? Serotonin mulai meningkat … kita juga sekarang
tidak sekuatir atau tidak se-“obsesif” dahulu bila ada yang lapor melihat
pasangan kita berjalan bersama lawan jenis. Dan bagian “social assessment” di
otak kita pun mulai diaktifkan kembali. Itulah sebabnya kita kemudian mulai
bisa melihat keadaan OBJEKTIF pasangan kita dengan lebih jelas. Dan inilah yang
menjadi penyebab utama kita kemudian menganggap pasangan kita “berubah” setelah
menikah. Padahal yang “berubah” adalah otak kita sendiri!
Itu pula sebabnya mengapa ada banyak orang yang setelah menikah dan bercerai,
lalu menikah lagi dan bercerai lagi hingga berulangkali – selalu menganggap
bahwa mereka BELUM menemukan pasangan yang cocok. Padahal yang sebenarnya
sedang terjadi adalah, setiap kali mereka merasa jatuh cinta, otaknya “menjadi
kabur” dan setelah menikah, barulah “jelas” dan mereka
kemudian kecewa karena merasa salah pilih. Padahal otaknya sendiri
yang berubah, bukan pasangannya. Orang-orang yang demikian ini sebenarnya bukan
jatuh cinta pada orang lain, melainkan sedang kecanduan dopamine-nya sendiri.
Mereka ini sedang jatuh cinta pada RASA jatuh cinta itu sendiri, yang
memang menimbulkan rasa nikmat dan oleh karenanya mereka menjadi kecanduan.
Banyak pasangan yang menganggap bahwa di dalam hubungan mereka sudah tidak lagi
ada cinta. Itu TIDAK BENAR! Yang benar adalah, sudah tidak ada lagi RASA jatuh
cinta seperti dulu sewaktu pertama kali bertemu atau saat dulu masih
berpacaran. Yang benar adalah, dopamine mulai berkurang produksinya.
Mari kita belajar untuk bersikap dewasa dengan bertanggung jawab atas setiap
pilihan kita. Menyadari campur tangan dopamine, serotonine, dan otak bagian
“social assessment” saja tidaklah cukup. Tidak juga kita mengatakan bahwa dulu
kita salah jatuh cinta pada pasangan kita, gara-gara dopamine di otak kita
berlebihan, atau gara-gara otak “social assessment” maka kita jadi salah pilih
orang. Dalam kepercayaan saya bahwa PERNIKAHAN adalah kudus dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia kecuali ajal menjemput maka oleh itu marilah kita menjalani hidup pernikahan
kudus ini dengan mengupayakannya (bukan menyesalinya). Karena cinta bukanlah
kata keadaan (aku sedang merasa jatuh cinta). Cinta adalah KATA KERJA!
Menumbuhkan serta menyuburkan cinta kasih antar pasangan suami istri adalah
tugas / pekerjaan seumur hidup kita.
OTAK SUAMI vs OTAK ISTRI
Tinggal bersama dalam satu rumah bagi 2 makhluk sempurna ciptaan tuhan yang berbeda jenis (dan berbeda
otaknya) memang tidak mudah. Sebenarnya bahkan sejak di dalam kandungan pun
otak janin laki-laki sudah BEDA dari otak janin perempuan. Jadi amat sangat
wajar bila kita (suami dan istri) merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri
dalam hidup pernikahan. Satu-satunya fase / momen dimana otak laki-laki dan
perempuan mendekati KEMIRIPAN hanyalah pada saat mereka sedang jatuh cinta.
Sebelum dan setelah itu, keduanya berfungsi dan beroperasi dengan cara yang
amat sangat berbeda!
Perempuan selama ini dikenal sebagai makhluk yang bisa melakukan banyak hal
sekaligus (multitasking) namun tidak demikian halnya dengan laki-laki. Bila
Anda (kaum istri) tidak percaya, cobalah ajak bicara suami Anda saat ia sedang
menonton berita atau sedang membaca koran atau saat sedang mengecek e-mail. Bila
Anda terus menginterupsinya, maka dia akan merasa terganggu dan sulit
berkonsentrasi, kemungkinan lainnya adalah, ia akan mengabaikan Anda. Bukan
karena dia tidak mau memperhatikan Anda, melainkan otak laki-laki memang tidak
didesain untuk bisa multitasking.
Beda dengan kaum istri … Cobalah sekarang para suami mengamati keseharian istri
masing-masing. Sambil menyiapkan makan bagi anak yang satu, masih bisa
mengingatkan anak yang lain untuk segala tugas sekolah yang harus dibawanya
hari itu, dan mengingatkan Anda untuk nanti tidak lupa mampir ke ATM dan ambil
uang belanja, sambil menugaskan pembantu untuk belanja.
Meski demikian, ini tidak berarti perempuan lebih unggul dari laki-laki.
Kemampuan untuk multitasking seringkali justru merugikan kaum perempuan dalam
beberapa hal, misalnya: kaum perempuan sulit untuk fokus dan konsentrasi
menyelesaikan satu tugas. Perempuan cenderung untuk sekaligus melakukan banyak
hal lalu kewalahan sehingga tidak ada satu pun yang selesai. Karena itu, di
akhir hari yang melelahkan, para istri biasanya mengeluh betapa sibuknya hari
itu dan betapa stressnya dia – karena tidak satupun pekerjaan yang selesai
dengan beres.
MEMBACA PIKIRAN: keahlian “tidak masuk akal” yang dituntut oleh para
istri
Saat si istri merasa capek atau ingin mendapat perhatian dan dukungan dari
suami, anehnya, mereka tidak mengungkapkannya secara verbal (bicara) melainkan
lewat gerak-gerik dan bahasa tubuh. Yang menurut mereka (para istri): “Harusnya
suamiku TAHU donk … masa wajah udah cemberut kaya gini dia ga nyadar sih?”
Mohon maaf para istri … ada kabar kurang baik mengenai hal ini. Karena kaum
laki-laki bukanlah pembaca pikiran istri mereka. Hanya dengan menunjukkan wajah
cemberut (atau ekspresi lainnya) tidak menjamin para suami tahu apa yang sedang
diharapkan oleh istri mereka.
Penelitian membuktikan bahwa kaum laki-laki kurang bisa memahami ekspresi SEDIH
terutama apabila itu diekspresikan oleh wajah PEREMPUAN. Jadi, saran saya, demi
kesehatan emosi Anda sendiri, hai istri-istri, berhentilah ber-acting di depan
suami, terutama kalau Anda sedang sedih.Karena para suami pada umumnya tidak
mampu mengenali ekspresi istrinya. Kalau mereka kedapatan cuek itu bukan karena
mereka tidak peduli atau tidak sayang lagi – tapi semata-mata karena memang
tidak sadar kalau istrinya lagi sedih dan butuh perhatian.
Sebaliknya, justru kaum istrilah yang punya kepekaan tinggi di dalam mengenali
emosi orang lain, terutama terhadap lawan jenisnya. Penelitian menunjukkan,
kemampuan perempuan mengenali emosi jauh lebih tinggi terhadap laki-laki
dibanding terhadap sesama perempuan. Barangkali ini juga sebabnya kenapa cukup
banyak ibu-ibu yang bermasalah dengan putrinya dibanding dengan putranya (?).
Jadi, demi kebaikan bersama, para istri tidak perlu menuntut suaminya untuk
bisa “membaca emosi” mereka. Para istri harus belajar untuk mengungkapkan
keinginannya dalam KATA-KATA. Karena para suami bukanlah ahli pembaca pikiran
orang!
Saya percaya Tuhan memberi kemampuan “membaca emosi” ini pada kaum perempuan
untuk suatu tugas yang mulia, yaitu untuk MENOLONG suaminya, bukan malah
“merongrong” si suami, apalagi dengan menuntutnya untuk bisa “membaca pikiran”
Anda J.
LAKI-LAKI TIDAK PERNAH BISA INGAT vs PEREMPUAN TIDAK PERNAH BISA LUPA
Dalam banyak kasus konflik suami istri, biasanya para suami merasa dipojokkan
saat mereka berdua berselisih pendapat atau (lebih parah lagi) saat mereka
berdua berusaha mencari pertolongan dari pihak ketiga, seperti pada pendeta
atau konselor.
Mengapa?
Karena aneh bin ajaib, si istri seolah punya memory yang luar biasa untuk
mengingat SEGALA DETAIL kejadian, bahkan kata demi kata yang pernah dilontarkan
oleh suaminya (meskipun itu sudah lewat 10 tahun) masih bisa diingatnya dengan
amat jelas. Sedangkan si suami cuma bisa melongo aja, karena hampir semua
kejadian tsb sudah hilang dari memorynya. Kalau pun ada, yah … teringatnya
samar-samar. Jadi, saat di depan konselor, si suami amat merasa tidak nyaman
karena istrinya bisa berjam-jam menghujani dirinya dengan berbagai fakta masa
lalu seolah baru saja kemarin kejadiannya.
Meskipun ini kemampuan yang sangat luar biasa dari kaum perempuan tapi fenomena ini amat sangat tidak enak mempunyai kemampuan mengingat segala
detail kejadian, terutama kejadian yang BURUK. Namun apa boleh buat … memang
otak perempuan (karena adanya estrogen) membuat dia mampu mengingat dengan
lebih detail segala kejadian yang menyedihkan, yang menimbulkan stress, yang
menyakitkan, dan berbagai macam jenis peristiwa yang menimbulkan emosi negatif
lainnya.
Laki-laki biasanya suka jengkel dengan perempuan. Karena pada saat sedang
menghadapi konflik (misal: urusan anak) tiba-tiba saja si istri membongkar
kembali masalah-masalah lain yang sudah lewat 5-10 tahun yg lalu, atau si istri
masih saja mengungkit-ungkit masalah mertua (meskipun beda topik), dan akhirnya
si suami merasa kewalahan dan berhenti bicara. Karena menurutnya, percuma
berdiskusi dengan si istri yang tiba-tiba saja bisa mengeluarkan segala macam
cerita LAMA yang masih disimpannya itu.
Sebenarnya bukan keinginan si istri untuk masih saja MENYIMPAN segala kenangan
pahit masa lalu, tetapi memang kemampuan kerja otaknya lah yang membuat segala
cerita buruk tsb tidak bisa hilang dari ingatannya. Sehingga, apabila ada
pemicu sedikit saja, maka semua cerita lama itu tiba-tiba muncul kembali dan
siap meledak keluar.
Sebaiknya para istri belajar menahan diri dalam kata-kata.
Memang, otak perempuan memiliki lebih banyak aliran darah, terutama di daerah
yang mengontrol kemampuan berbahasa, yang menyebabkan kaum perempuan bukan saja
lebih cerewet tapi juga punya ingatan yang lebih baik soal “menyimpan dan
mengingat” kata-kata. Menahan diri dalam kata-kata artinya, saat menghadapi
konflik / diskusi / perbedaan pendapat, perempuan harus belajar untuk FOKUS.
Membicarakan 1 hal saja di 1 saat, dan menuntaskannya.
Cara ini juga efektif bagi pasangan wanita dapat membangkitkan emosi-emosi negatif yang tidak perlu. Pendekatan ini juga
membantu kaum pria di dalam mencari kesepakatan dengan kaum perempuan. Masih
ingat tentang multitasking di atas, bukan? Perempuan bisa bicara dari A-Z dan
kembali lagi ke G atau M atau X kapan pun dia mau. Tetapi laki-laki tidak
nyaman dengan pembicaraan yang melompat-lompat dan tidak ada hubungannya.
Menurut saya para istri, adalah dengan membatasi topik pembicaraan
kepada suaminya. Bila ingin mengadu soal: ledeng bocor, lampu mati, ulangan anak
jelek, ada acara sekolah yg harus dihadiri, mertua masuk RS, dan anak tetangga
memecahkan kaca jendela rumah Anda … sebaiknya Anda memilih 2-3 berita saja
yang disampaikan untuk 1 hari. Simpan berita lainnya untuk dibahas di lain
waktu. Jangan semuanya dilaporkan seperti Berita Petang. Otak laki-laki akan
merasa kewalahan dengan banyaknya laporan Anda tsb yang mengakibatkan dia tidak
bisa berpikir dengan jernih.
Kaum laki-laki cenderung membatasi pilihan. Bila hendak mencari baju, maka dia
akan memilih di 2-3 rak saja di toko, dan bim salabim! Ketemulah baju yang
cocok dengannya.
Beda sekali dengan kaum perempuan. Kalau dia hendak mencari sepatu, maka
bisa seharian dia keliling bukan hanya di 1 mall, tapi bisa 2-3 mall, dan
memasuki 10-20 toko untuk mencari sepatu mana yang paling cocok baginya. Tidak
jarang kemudian dia pulang tanpa hasil, atau malah beli 5 pasang sepatu
sekaligus J. Otak perempuan sangat menikmati menimbang-nimbang banyak
pilihan, tapi tidak demikian halnya dengan laki-laki.
Karena itu, di dalam menghadapi konflik atau pembicaraan serius dengan suami,
saran saya pada istri, pilihlah dan batasilah topik pembicaraan, lalu
berikanlah alternatif pilihan yang tidak terlalu banyak.
Kemampuan para istri mengelola konflik, besar perannya di dalam membangun atau
menghancurkan rumah tangganya sendiri.
Ada 1 hal lain yang seringkali membuat para istri jengkel dengan suaminya.
Setelah adu mulut atau terlibat pembicaraan yang tegang, si istri biasanya
masih kalut pikirannya. Sambil menyiapkan makan malam, segala kejadian yang
baru dialaminya seolah terputar ulang di benaknya dengan sangat jelas – bukan
hanya hari itu saja, bahkan sampai 1 minggu atau 1 bulan berlalu pun peristiwa
itu masih berputar-putar di benaknya. Meskipun dia sudah berusaha mengenyahkan
peristiwa menyakitkan itu dari memorynya tapi tidak juga berhasil. Dan dia
menjadi semakin marah saja sewaktu mengetahui bahwa suaminya, segera setelah
keributan itu, bisa dengan asyik nonton bola dan tidur dengan nyenyak, seolah
tidak terjadi apa-apa.
Si istri dalam hati mulai bertanya-tanya, jangan-jangan suaminya sudah tidak
peduli lagi dengannya. Harap tenang para istri … bukan itu masalahnya.
Jawabannya terletak pada kemampuan otak laki-laki yang memang tidak bisa
multitasking. Jadi, bila setelah ribut dia nonton bola, maka otaknya serasa
di-restart ulang. Kini yang menjadi perhatiannya adalah bola. Saat melihat
bola, di memorynya tidak lagi ditayangkan kejadian ribut-ribut tadi. Bukan
karena dia dengan cepatnya melupakan atau tidak peduli, tetapi karena memang
cara kerja otaknya adalah one step at a time. Satu persatu, tidak bisa
multitasking seperti kaum perempuan.
Masukan bagi para suami, adalah agar lebih memberi perhatian kepada
istri. Meskipun tidak diminta, ada baiknya para suami mengekspresikan
kepedulian dan perhatiannya dengan lebih nyata – dibanding mengungkapkan
kata-kata pembelaan seperti “Lho, aku ini kan sayang sama kamu, makanya aku
kerja capek-capek setiap hari. Buat siapa? Kan buat kamu juga!”
Jadi, bila baik suami maupun istri mau belajar memahami cara kerja otak
masing-masing, yang sedemikian berbeda ini, saya yakin kita bisa dengan lebih
bijaksana menghindari konflik yang tidak perlu. Kalaupun ada konflik, kita bisa
menyelesaikannya dengan cara-cara yang lebih sehat. Karena sekarang kita jadi
LEBIH TAHU mengenai apa yang sedang terjadi di dalam otak pasangan kita,
sehingga kita bisa lebih memahami segala latar belakang penyebab “keanehan”
tingkah lakunya tsb.
BELAJAR MENGASIHI SEUMUR HIDUP
Nah, di bagian akhir artikel ini, saya ingin menyampaikan kabar baik. Bahwa
segala perbedaan tsb di atas, yang mau tak mau harus kita hadapi bagaikan naik
roller coaster kehidupan yang penuh ketegangan tsb, suatu saat akan berubah
menjadi seperti naik ayunan dengan goyangan yang lembut. Akan tiba waktunya,
dimana kita dan pasangan kita sama-sama menjadi tua. Di saat inilah, otak
laki-laki dan perempuan (di masa-masa akhir dari kehidupannya) menjadi semakin
mirip. Terutama bila semasa mudanya, kedua belah pihak mau sama-sama belajar saling
menerima dan saling menyesuaikan diri. Proses “pembentukan” itulah yang
kemudian membuat keduanya menjadi lebih serupa dan akhirnya sanggup saling
mengasihi secara tulus.
Belajar untuk mengasihi, ternyata membutuhkan proses seumur hidup. Tujuan pernikahan bukanlah untuk hidup berbahagia selama-lamanya (happily every after)
seperti layaknya dongeng Cinderella dan berbagai princess lainnya. Karena bila
bahagia adalah tujuannya, kita akan jatuh ke dalam berbagai dosa yang
“membahagiakan” hati kita. Kita bisa saja menganggap bahwa perceraian adalah
jalan keluar bila kedua belah pihak sudah tidak bisa bahagia lagi di dalam
pernikahan tsb. Kita juga bisa melakukan perselingkuhan, karena ternyata
meskipun sudah menikah, kita masih bisa jatuh cinta kepada orang lain! Ini bisa
dijelaskan oleh faktor dopamine bukan? Namun, Lebih baik bersatu daripada tercerai berai bukan ????seperti materi saya yang diatas berbagai efek setelah perceraian.
Jadi, bila bukan untuk bahagia, lalu untuk apa pernikahan itu?
Menjadi tua bersama dengan pasangan kita adalah suatu anugerah yang indah BILA kita memilih untuk menerima dan mengasihi dia sebagaimana adanya. Kebahagiaan dalam hidup ini tidak pernah bergantung kepada orang lain (bagaimana mereka memperlakukan kita) atau pun oleh lingkungan (bagaimana keadaan sosial ekonomi kita) – melainkan atas PILIHAN kita sendiri.
Untuk belajar saling mengasihi dan menghidupkan daya cinta terhadap keluarga, memperberbesar rasa toleransi terhadap sesama, karena keberhasilan dalam keluarga menjadi indikasi kualitas hidup kita di masyarakat, apalah artinya materi dibandingkan kebahagiaan yang kita miliki bersama keluarga kecil kita, memang tanpa materi segala sesuatunya akan menjadi sulit, akan tetapi materi bukanlah unsur pokok penentu kualitas suatu PERNIKAHAN dan rejeki akan datang dengan sendirinya apabila pasangan bersatu padu, seia sekata, sejalan, dan sepikiran... SEKIAN dan TERIMAKASIH