Thursday, 17 November 2016

KENAPA SETELAH MENIKAH SIKAPNYA BERBEDA TERHADAP ANDA ???

Selamat pagi dan salam sejahtera, setelah kian lama penulis vakum dari dunia perblogeran kali ini penulis ingin mensharing materi yang dikutip dari beberapa blog serta melakukan pengeditan dan penambahan materi yang dianggap perlu oleh penulis. Didasari oleh pengalaman penulis yang telah gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga, penulis ingin membagikan pengalaman tersebut agar para blogger yang telah ataupun akan mengarungi bahtera rumah tangga mendapatkan kenikmatan serta kebahagiaan PERNIKAHAN...........................................Wokeehhh langsung aja .............,,,,
Dewasa ini penulis mengalami dan melihat betapa banyaknya PASUTRI yang bercerai, padahal sebelumnya saat pacaran mereka terlihat begitu mesranya, mengatasnamakan CINTA diatas segalanya dan beberapa dari mereka rela menentang nasihat dari orang tua maupun kerabat terdekatnya serta mengabaikan pendapat orang disekitarnya, hingga rela untuk melakukan sesuatu perbuatan yang sangat dilarang dan diharamkan oleh SANG PENCIPTA....dan penyebabnya hanya satu yaitu pengaruh dari efek dopamin yang dihasilkan oleh otak kita yang menimbulkan sensasi senang, damai dan tenteram apabila kita bertemu dengannya sehingga segala rasionalitas dan kenyataan yang ada kita abaikan.......
Penulis ingin mengkaji fenomena ini agar para blogger dapat saling memahami pasangan kita sehingga keegoisan, kecurigaan, terutama pertanyaan KENAPA SIH DIA BERUBAH ??? dibuang jauh jauh serta meningkatkan komunikasi yang sehat antara pasangan.

Perbincangan mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan sepertinya tidak pernah ada habisnya. Laki-laki merasa tidak bisa mengerti kaum perempuan yang “sulit ditebak” apa maunya. Sedangkan perempuan menganggap laki-laki itu “membingungkan”. Namun anehnya, ada satu fase dimana laki-laki dan perempuan tiba-tiba bisa berada di frekuensi yang sama sehingga keduanya merasa sehati dan sepikir, dan kemudian memutuskan untuk hidup bersama dalam pernikahan.



Segera setelah keduanya melewati masa-masa indah bulan madu, tiba-tiba saja keduanya merasa terjebak – karena masing-masing pihak mulai menyadari bahwa pasangannya ternyata “berubah”.


-          Kenapa dia tiba-tiba cuek yah? Dulu dia orangnya penuh perhatian lho! atau jangan - jangan dia punya simpanan ???



-          Kenapa dia sekarang suka uring-uringan yah, padahal dulu sabaaaar banget.



-          Wah, dulu kalau masa pacaran, kami bisa ngobrol sampai berjam-jam, tapi setelah tahun pertama pernikahan, kalau ga ada urusan yang sangat penting, kami ga akan ngomong deh.


-           Heran juga … kenapa dulu saya bisa naksir dia yah? Ternyata orangnya nyebelin!

Apakah Anda juga pernah bertanya-tanya seperti contoh di atas? (oya, pertanyaan ini tidak berlaku bagi yang sedang dalam masa pacaran atau masih ber-pacaran-ria) ataupun masih bulan maduuu.

Bila YA jawabnya, maka saya ucapkan selamat! Karena itu berarti otak Anda dalam keadaan normal, sehat, dan baik-baik saja.

OTAK YANG SEDANG JATUH CINTA

Tahukah Anda apa yang menyebabkan pasangan Anda “berubah” setelah menikah?

Sebenarnya, bukan pasangan Anda yang “berubah” setelah menikah, melainkan otak Anda sendiri lah yang sedang berubah! Saya ulangi lagi … agar tidak ada salah pengertian. Sebenarnya pasangan Anda TIDAK berubah, dia masih tetap sama seperti dulu saat Anda dan pasangan Anda melewati masa-masa pacaran yang romantis. Tetapi otak Anda lah (dan otak pasangan Anda) yang “berubah” yang membuat Anda dan pasangan Anda sekarang melihat masing-masing dengan kacamata yang berbeda.

Jadi, sebelum Anda “menyesal” kenapa dulu menikah dengan dia, sebelum Anda merasa sudah terlanjur “salah pilih”, atau sebelum Anda “menyerah” dengan hidup pernikahan Anda yang rumit, coba simak dulu penjelasan berikut ini …

Saat sedang jatuh cinta, tidak saja jantung kita berdetak lebih cepat namun seluruh organ tubuh lainnya seolah ikut menopang segala hasrat kita. Tiba-tiba saja kita jadi lebih bugar dan bisa begadang sepanjang malam. Kita juga bisa jadi lebih sabar, lebih perhatian, lebih fokus, dan rela berkorban.

Penelitian menunjukkan bahwa kondisi otak insan yang sedang jatuh cinta BEDA dengan mereka yang sedang dalam keadaan biasa-biasa saja.


Orang yang sedang jatuh cinta, otaknya teraktivasi untuk menghasilkan dopamine. Kehadiran dopamine memberi rasa nikmat dan membuat seseorang menjadi lebih termotivasi. Yang menarik adalah, penelitian menunjukkan bahwa keadaan otak orang yang sedang jatuh cinta ini mirip dengan keadaan otak orang-orang yang sedang kecanduan obat-obat terlarang – karena dopamine bersifat “addicted” (kecanduan). Singkatnya, baik orang yang sedang jatuh cinta maupun yang sedang nge-drugs sama-sama meningkat kadar dopamine di dalam otaknya.

Bila dopamine meningkat, sebaliknya, kadar serotonin dalam otak orang yang sedang jatuh cinta malah menurun. Hal ini mengakibatkan kita menjadi lebih mudah depresi. Bahkan kadang menurunnya kadar serotonin tsb bisa menjadi serendah para pasien yang mengidap “compulsive disorder”. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa saat seseorang sedang jatuh cinta dia menjadi lebih mudah kuatir, lebih sering cemas, lebih banyak gelisah, akan kemungkinan terjadinya hal-hal buruk yang akan menimpa pasangan mereka atau yang dianggapnya berpotensi merusak hubungan mereka. Tidak terima telepon 1 hari saja bisa membuatnya panik. Mendapat laporan dari teman kalau si doi kelihatan sedang menyeberang bersama lawan jenis, maka berbagai pikiran buruk tiba-tiba terlintas dalam benaknya. Benar-benar mirip keadaan pasien yang sedang sakit jiwa bukan?

Dan, keadaan ini masih diperparah lagi dengan MATI atau LUMPUHnya salah satu bagian penting dalam otak kedua insan yang sedang jatuh cinta tsb, yaitu yang disebut dengan “the social assessment mediator”. Akibatnya, mereka yang sedang jatuh cinta TIDAK AKAN MAMPU menilai pasangannya secara objektif. Otak kedua orang yang sedang jatuh cinta ini sama-sama mencegah / memblokir timbulnya penilaian (judgement) yang negatif terhadap pasangan mereka. Dengan kata lain, otak mereka akan berusaha keras MENOLAK setiap input yang bertentangan dengan hasrat mereka.

Tidak mengherankan kalau nasihat baik dari orang tua,sahabat, pembimbing, teman, dll kebanyakan mental atau menguap bagaikan embun di siang hari. Karena otak orang-orang yang sedang jatuh cinta akan berusaha keras “melindungi” diri mereka sendiri terhadap ancaman yang bakal merenggut rasa nikmat dari jatuh cinta yang sedang mereka alami tsb. Benar kata orang bahwa mereka yang sedang jatuh cinta sedang tidak waras pikirannya .

Nah kalau kita tidak jatuh cinta berarti tidak ada yang menikah, asumsinya begitu kan ????
jadi jangan salahsemua chemistry saat jatuh cinta itu alami terjadinya ga akan di tangkap polisi kokk karena efek dopamin tersebut, akan tetapi bagaimana mempertahankan efek tersebut sampai maut menjemput....... Betapa indahnya hidup ini apabila kedua pasangan sama sama memilikinya, kerikil ataupu jurang selama pernikahan bisa dilewati dengan THE POWER OF LOVE seperti dalam film dengan kekuatan cinta masalah sepelik apapun bisa dilewati, akan tetapi apabila tidak adanya rasa cinta ini pada kedua pasangan siap - siap saja neraka pernikahan akan hadir didepan anda dan jalan terakhit bercerai, lha siapa yang rugi ????? Anda apa pasangan anda,,,,,, Anda dan pasangan anda akan depresi serta kehilangan beberapa saat seiring berjalannya waktu akan kembali normal semuanya...... akan tetapi apabila anda mempunyai anak yang masih kecil dan butuh perhatian betapa terguncangnya jiwa anak tersebut karena keegoisan kita,,,, jadi kita tetap harus tetap mempertahankan pernikahan tersebut walau tidak ada cinta ????? sooo jawabannya tidak sesuatu yang dipaksakan biasanya berakibat fatal maupun penderitaan apalagi kita bertemu tiap saat dengan pasangan kita, efek psikologis serta kejiwaan bagi anak pun sangat tidak baik melihat orang tuanya sering bertengkar dan paling buruknya anak akan mengalami dampak dari itu semua karena anak cendrung untuk dijadikan pelampiasan kekesalan orang tuanya karena lemah dan tidak dapat mempertahankan diri maka kebanyakan kasus pembunuhan anak oleh orang tua disebabkan masalah orang tua yang dilampiaskan ke anak, kasihan anak dia pun tidak mau terlahir dan dilahirkan dari anda kalau dia dapat memilih ................................Kembali ke pokok cerita.....



Jadi … setelah berbagai gejolak kimia jatuh cinta tsb dalam otak kita di masa pacaran, tiba waktunya kita memasuki masa pernikahan. Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan. Maka kembalilah otak kita pada kondisi NORMALnya.


Dopamine mulai berkurang … makanya kita tidak lagi deg-deg’an saat berada di sebelah pasangan kita bukan? Serotonin mulai meningkat … kita juga sekarang tidak sekuatir atau tidak se-“obsesif” dahulu bila ada yang lapor melihat pasangan kita berjalan bersama lawan jenis. Dan bagian “social assessment” di otak kita pun mulai diaktifkan kembali. Itulah sebabnya kita kemudian mulai bisa melihat keadaan OBJEKTIF pasangan kita dengan lebih jelas. Dan inilah yang menjadi penyebab utama kita kemudian menganggap pasangan kita “berubah” setelah menikah. Padahal yang “berubah” adalah otak kita sendiri!

Itu pula sebabnya mengapa ada banyak orang yang setelah menikah dan bercerai, lalu menikah lagi dan bercerai lagi hingga berulangkali – selalu menganggap bahwa mereka BELUM menemukan pasangan yang cocok. Padahal yang sebenarnya sedang terjadi adalah, setiap kali mereka merasa jatuh cinta, otaknya “menjadi kabur” dan setelah menikah, barulah “jelas” dan mereka kemudian  kecewa karena merasa salah pilih. Padahal otaknya sendiri yang berubah, bukan pasangannya. Orang-orang yang demikian ini sebenarnya bukan jatuh cinta pada orang lain, melainkan sedang kecanduan dopamine-nya sendiri. Mereka ini sedang jatuh cinta pada RASA jatuh cinta itu sendiri, yang memang menimbulkan rasa nikmat dan oleh karenanya mereka menjadi kecanduan.

Banyak pasangan yang menganggap bahwa di dalam hubungan mereka sudah tidak lagi ada cinta. Itu TIDAK BENAR! Yang benar adalah, sudah tidak ada lagi RASA jatuh cinta seperti dulu sewaktu pertama kali bertemu atau saat dulu masih berpacaran. Yang benar adalah, dopamine mulai berkurang produksinya.

Mari kita belajar untuk bersikap dewasa dengan bertanggung jawab atas setiap pilihan kita. Menyadari campur tangan dopamine, serotonine, dan otak bagian “social assessment” saja tidaklah cukup. Tidak juga kita mengatakan bahwa dulu kita salah jatuh cinta pada pasangan kita, gara-gara dopamine di otak kita berlebihan, atau gara-gara otak “social assessment” maka kita jadi salah pilih orang. Dalam kepercayaan saya bahwa PERNIKAHAN adalah kudus dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia kecuali ajal menjemput maka oleh itu marilah kita menjalani hidup pernikahan kudus ini dengan mengupayakannya (bukan menyesalinya). Karena cinta bukanlah kata keadaan (aku sedang merasa jatuh cinta). Cinta adalah KATA KERJA! Menumbuhkan serta menyuburkan cinta kasih antar pasangan suami istri adalah tugas / pekerjaan seumur hidup kita.

OTAK SUAMI vs OTAK ISTRI

Tinggal bersama dalam satu rumah bagi 2 makhluk sempurna ciptaan tuhan yang berbeda jenis (dan berbeda otaknya) memang tidak mudah. Sebenarnya bahkan sejak di dalam kandungan pun otak janin laki-laki sudah BEDA dari otak janin perempuan. Jadi amat sangat wajar bila kita (suami dan istri) merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dalam hidup pernikahan. Satu-satunya fase / momen dimana otak laki-laki dan perempuan mendekati KEMIRIPAN hanyalah pada saat mereka sedang jatuh cinta. Sebelum dan setelah itu, keduanya berfungsi dan beroperasi dengan cara yang amat sangat berbeda!

Perempuan selama ini dikenal sebagai makhluk yang bisa melakukan banyak hal sekaligus (multitasking) namun tidak demikian halnya dengan laki-laki. Bila Anda (kaum istri) tidak percaya, cobalah ajak bicara suami Anda saat ia sedang menonton berita atau sedang membaca koran atau saat sedang mengecek e-mail. Bila Anda terus menginterupsinya, maka dia akan merasa terganggu dan sulit berkonsentrasi, kemungkinan lainnya adalah, ia akan mengabaikan Anda. Bukan karena dia tidak mau memperhatikan Anda, melainkan otak laki-laki memang tidak didesain untuk bisa multitasking.

Beda dengan kaum istri … Cobalah sekarang para suami mengamati keseharian istri masing-masing. Sambil menyiapkan makan bagi anak yang satu, masih bisa mengingatkan anak yang lain untuk segala tugas sekolah yang harus dibawanya hari itu, dan mengingatkan Anda untuk nanti tidak lupa mampir ke ATM dan ambil uang belanja, sambil menugaskan pembantu untuk belanja.

Meski demikian, ini tidak berarti perempuan lebih unggul dari laki-laki. Kemampuan untuk multitasking seringkali justru merugikan kaum perempuan dalam beberapa hal, misalnya: kaum perempuan sulit untuk fokus dan konsentrasi menyelesaikan satu tugas. Perempuan cenderung untuk sekaligus melakukan banyak hal lalu kewalahan sehingga tidak ada satu pun yang selesai. Karena itu, di akhir hari yang melelahkan, para istri biasanya mengeluh betapa sibuknya hari itu dan betapa stressnya dia – karena tidak satupun pekerjaan yang selesai dengan beres.

MEMBACA PIKIRAN: keahlian “tidak masuk akal” yang dituntut oleh para istri 

Saat si istri merasa capek atau ingin mendapat perhatian dan dukungan dari suami, anehnya, mereka tidak mengungkapkannya secara verbal (bicara) melainkan lewat gerak-gerik dan bahasa tubuh. Yang menurut mereka (para istri): “Harusnya suamiku TAHU donk … masa wajah udah cemberut kaya gini dia ga nyadar sih?”

Mohon maaf para istri … ada kabar kurang baik mengenai hal ini. Karena kaum laki-laki bukanlah pembaca pikiran istri mereka. Hanya dengan menunjukkan wajah cemberut (atau ekspresi lainnya) tidak menjamin para suami tahu apa yang sedang diharapkan oleh istri mereka.

Penelitian membuktikan bahwa kaum laki-laki kurang bisa memahami ekspresi SEDIH terutama apabila itu diekspresikan oleh wajah PEREMPUAN. Jadi, saran saya, demi kesehatan emosi Anda sendiri, hai istri-istri, berhentilah ber-acting di depan suami, terutama kalau Anda sedang sedih.Karena para suami pada umumnya tidak mampu mengenali ekspresi istrinya. Kalau mereka kedapatan cuek itu bukan karena mereka tidak peduli atau tidak sayang lagi – tapi semata-mata karena memang tidak sadar kalau istrinya lagi sedih dan butuh perhatian.

Sebaliknya, justru kaum istrilah yang punya kepekaan tinggi di dalam mengenali emosi orang lain, terutama terhadap lawan jenisnya. Penelitian menunjukkan, kemampuan perempuan mengenali emosi jauh lebih tinggi terhadap laki-laki dibanding terhadap sesama perempuan. Barangkali ini juga sebabnya kenapa cukup banyak ibu-ibu yang bermasalah dengan putrinya dibanding dengan putranya (?).

Jadi, demi kebaikan bersama, para istri tidak perlu menuntut suaminya untuk bisa “membaca emosi” mereka. Para istri harus belajar untuk mengungkapkan keinginannya dalam KATA-KATA. Karena para suami bukanlah ahli pembaca pikiran orang!

Saya percaya Tuhan memberi kemampuan “membaca emosi” ini pada kaum perempuan untuk suatu tugas yang mulia, yaitu untuk MENOLONG suaminya, bukan malah “merongrong” si suami, apalagi dengan menuntutnya untuk bisa “membaca pikiran” Anda J.

LAKI-LAKI TIDAK PERNAH BISA INGAT vs PEREMPUAN TIDAK PERNAH BISA LUPA

Dalam banyak kasus konflik suami istri, biasanya para suami merasa dipojokkan saat mereka berdua berselisih pendapat atau (lebih parah lagi) saat mereka berdua berusaha mencari pertolongan dari pihak ketiga, seperti pada pendeta atau konselor.

Mengapa?

Karena aneh bin ajaib, si istri seolah punya memory yang luar biasa untuk mengingat SEGALA DETAIL kejadian, bahkan kata demi kata yang pernah dilontarkan oleh suaminya (meskipun itu sudah lewat 10 tahun) masih bisa diingatnya dengan amat jelas. Sedangkan si suami cuma bisa melongo aja, karena hampir semua kejadian tsb sudah hilang dari memorynya. Kalau pun ada, yah … teringatnya samar-samar. Jadi, saat di depan konselor, si suami amat merasa tidak nyaman karena istrinya bisa berjam-jam menghujani dirinya dengan berbagai fakta masa lalu seolah baru saja kemarin kejadiannya.

Meskipun ini kemampuan yang sangat luar biasa dari kaum perempuan tapi fenomena ini amat sangat tidak enak mempunyai kemampuan mengingat segala detail kejadian, terutama kejadian yang BURUK. Namun apa boleh buat … memang otak perempuan (karena adanya estrogen) membuat dia mampu mengingat dengan lebih detail segala kejadian yang menyedihkan, yang menimbulkan stress, yang menyakitkan, dan berbagai macam jenis peristiwa yang menimbulkan emosi negatif lainnya.

 Laki-laki biasanya suka jengkel dengan perempuan. Karena pada saat sedang menghadapi konflik (misal: urusan anak) tiba-tiba saja si istri membongkar kembali masalah-masalah lain yang sudah lewat 5-10 tahun yg lalu, atau si istri masih saja mengungkit-ungkit masalah mertua (meskipun beda topik), dan akhirnya si suami merasa kewalahan dan berhenti bicara. Karena menurutnya, percuma berdiskusi dengan si istri yang tiba-tiba saja bisa mengeluarkan segala macam cerita LAMA yang masih disimpannya itu.

Sebenarnya bukan keinginan si istri untuk masih saja MENYIMPAN segala kenangan pahit masa lalu, tetapi memang kemampuan kerja otaknya lah yang membuat segala cerita buruk tsb tidak bisa hilang dari ingatannya. Sehingga, apabila ada pemicu sedikit saja, maka semua cerita lama itu tiba-tiba muncul kembali dan siap meledak keluar.

Sebaiknya para istri  belajar menahan diri dalam kata-kata. Memang, otak perempuan memiliki lebih banyak aliran darah, terutama di daerah yang mengontrol kemampuan berbahasa, yang menyebabkan kaum perempuan bukan saja lebih cerewet tapi juga punya ingatan yang lebih baik soal “menyimpan dan mengingat” kata-kata. Menahan diri dalam kata-kata artinya, saat menghadapi konflik / diskusi / perbedaan pendapat, perempuan harus belajar untuk FOKUS.

Membicarakan 1 hal saja di 1 saat, dan menuntaskannya.

Cara ini juga efektif bagi pasangan wanita dapat membangkitkan emosi-emosi negatif yang tidak perlu. Pendekatan ini juga membantu kaum pria di dalam mencari kesepakatan dengan kaum perempuan. Masih ingat tentang multitasking di atas, bukan? Perempuan bisa bicara dari A-Z dan kembali lagi ke G atau M atau X kapan pun dia mau. Tetapi laki-laki tidak nyaman dengan pembicaraan yang melompat-lompat dan tidak ada hubungannya.

Menurut saya para istri, adalah dengan membatasi topik pembicaraan kepada suaminya. Bila ingin mengadu soal: ledeng bocor, lampu mati, ulangan anak jelek, ada acara sekolah yg harus dihadiri, mertua masuk RS, dan anak tetangga memecahkan kaca jendela rumah Anda … sebaiknya Anda memilih 2-3 berita saja yang disampaikan untuk 1 hari. Simpan berita lainnya untuk dibahas di lain waktu. Jangan semuanya dilaporkan seperti Berita Petang. Otak laki-laki akan merasa kewalahan dengan banyaknya laporan Anda tsb yang mengakibatkan dia tidak bisa berpikir dengan jernih.

Kaum laki-laki cenderung membatasi pilihan. Bila hendak mencari baju, maka dia akan memilih di 2-3 rak saja di toko, dan bim salabim! Ketemulah baju yang cocok dengannya.

 Beda sekali dengan kaum perempuan. Kalau dia hendak mencari sepatu, maka bisa seharian dia keliling bukan hanya di 1 mall, tapi bisa 2-3 mall, dan memasuki 10-20 toko untuk mencari sepatu mana yang paling cocok baginya. Tidak jarang kemudian dia pulang tanpa hasil, atau malah beli 5 pasang sepatu sekaligus J. Otak perempuan sangat menikmati menimbang-nimbang banyak pilihan, tapi tidak demikian halnya dengan laki-laki.

Karena itu, di dalam menghadapi konflik atau pembicaraan serius dengan suami, saran saya pada istri, pilihlah dan batasilah topik pembicaraan, lalu berikanlah alternatif pilihan yang tidak terlalu banyak.

Kemampuan para istri mengelola konflik, besar perannya di dalam membangun atau menghancurkan rumah tangganya sendiri.

Ada 1 hal lain yang seringkali membuat para istri jengkel dengan suaminya. Setelah adu mulut atau terlibat pembicaraan yang tegang, si istri biasanya masih kalut pikirannya. Sambil menyiapkan makan malam, segala kejadian yang baru dialaminya seolah terputar ulang di benaknya dengan sangat jelas – bukan hanya hari itu saja, bahkan sampai 1 minggu atau 1 bulan berlalu pun peristiwa itu masih berputar-putar di benaknya. Meskipun dia sudah berusaha mengenyahkan peristiwa menyakitkan itu dari memorynya tapi tidak juga berhasil. Dan dia menjadi semakin marah saja sewaktu mengetahui bahwa suaminya, segera setelah keributan itu, bisa dengan asyik nonton bola dan tidur dengan nyenyak, seolah tidak terjadi apa-apa.

Si istri dalam hati mulai bertanya-tanya, jangan-jangan suaminya sudah tidak peduli lagi dengannya. Harap tenang para istri … bukan itu masalahnya. Jawabannya terletak pada kemampuan otak laki-laki yang memang tidak bisa multitasking. Jadi, bila setelah ribut dia nonton bola, maka otaknya serasa di-restart ulang. Kini yang menjadi perhatiannya adalah bola. Saat melihat bola, di memorynya tidak lagi ditayangkan kejadian ribut-ribut tadi. Bukan karena dia dengan cepatnya melupakan atau tidak peduli, tetapi karena memang cara kerja otaknya adalah one step at a time. Satu persatu, tidak bisa multitasking seperti kaum perempuan.

Masukan bagi para suami, adalah agar lebih memberi  perhatian kepada istri. Meskipun tidak diminta, ada baiknya para suami mengekspresikan kepedulian dan perhatiannya dengan lebih nyata – dibanding mengungkapkan kata-kata pembelaan seperti “Lho, aku ini kan sayang sama kamu, makanya aku kerja capek-capek setiap hari. Buat siapa? Kan buat kamu juga!”

Jadi, bila baik suami maupun istri mau belajar memahami cara kerja otak masing-masing, yang sedemikian berbeda ini, saya yakin kita bisa dengan lebih bijaksana menghindari konflik yang tidak perlu. Kalaupun ada konflik, kita bisa menyelesaikannya dengan cara-cara yang lebih sehat. Karena sekarang kita jadi LEBIH TAHU mengenai apa yang sedang terjadi di dalam otak pasangan kita, sehingga kita bisa lebih memahami segala latar belakang penyebab “keanehan” tingkah lakunya tsb.

BELAJAR MENGASIHI SEUMUR HIDUP

Nah, di bagian akhir artikel ini, saya ingin menyampaikan kabar baik. Bahwa segala perbedaan tsb di atas, yang mau tak mau harus kita hadapi bagaikan naik roller coaster kehidupan yang penuh ketegangan tsb, suatu saat akan berubah menjadi seperti naik ayunan dengan goyangan yang lembut. Akan tiba waktunya, dimana kita dan pasangan kita sama-sama menjadi tua. Di saat inilah, otak laki-laki dan perempuan (di masa-masa akhir dari kehidupannya) menjadi semakin mirip. Terutama bila semasa mudanya, kedua belah pihak mau sama-sama belajar saling menerima dan saling menyesuaikan diri. Proses “pembentukan” itulah yang kemudian membuat keduanya menjadi lebih serupa dan akhirnya sanggup saling mengasihi secara tulus.

Belajar untuk mengasihi, ternyata membutuhkan proses seumur hidup. Tujuan pernikahan  bukanlah untuk hidup berbahagia selama-lamanya (happily every after) seperti layaknya dongeng Cinderella dan berbagai princess lainnya. Karena bila bahagia adalah tujuannya, kita akan jatuh ke dalam berbagai dosa yang “membahagiakan” hati kita. Kita bisa saja menganggap bahwa perceraian adalah jalan keluar bila kedua belah pihak sudah tidak bisa bahagia lagi di dalam pernikahan tsb. Kita juga bisa melakukan perselingkuhan, karena ternyata meskipun sudah menikah, kita masih bisa jatuh cinta kepada orang lain! Ini bisa dijelaskan oleh faktor dopamine bukan? Namun, Lebih baik bersatu daripada tercerai berai bukan ????seperti materi saya yang diatas berbagai efek setelah perceraian.

Jadi, bila bukan untuk bahagia, lalu untuk apa pernikahan itu?

Menjadi tua bersama dengan pasangan kita adalah suatu anugerah yang indah BILA kita memilih untuk menerima dan mengasihi dia sebagaimana adanya. Kebahagiaan dalam hidup ini tidak pernah bergantung kepada orang lain (bagaimana mereka memperlakukan kita) atau pun oleh lingkungan (bagaimana keadaan sosial ekonomi kita) – melainkan atas PILIHAN kita sendiri.

Untuk belajar saling mengasihi dan menghidupkan daya cinta terhadap keluarga, memperberbesar rasa toleransi terhadap sesama, karena keberhasilan dalam keluarga menjadi indikasi kualitas hidup kita di masyarakat, apalah artinya materi dibandingkan kebahagiaan yang kita miliki bersama keluarga kecil kita, memang tanpa materi segala sesuatunya akan menjadi sulit, akan tetapi materi bukanlah unsur pokok penentu kualitas suatu PERNIKAHAN  dan rejeki akan datang dengan sendirinya apabila pasangan bersatu padu, seia sekata, sejalan, dan sepikiran... SEKIAN dan TERIMAKASIH